Diary jadi saksi
WRITTEN BY kucumcucum
♥Friday, September 7, 2012 [
0 comments ]
By : Tari Indar
Hari yang cerah. Tetapi tidak secerah keadaan di rumah mewah milik
pengusaha sukses itu. Di dalam rumah itu ada seorang anak bernama Nita
yang sedang dimarahi ibunya. Itulah yang dialaminya setiap hari. Selalu
menjadi seperti pembantu. Tapi memang itulah jalan hidupnya.
“Nit,mana makanannya?”
“iya, bu ini belum jadi.”
“Kamu bisa masak gak sih..?”
“Maaf,bu,”
Dear Diary,
Seperti biasa aku dimarahi lagi sama ibu.
Ya Tuhan, kenapa aku dilahirkan dari ibu yang galak dan ayah yang tidak
perhatian. Aku iri dengan teman-temanku, mereka tidak disuruh masak,
bersih-bersih, dll. Memang mereka tidak sekaya aku, tapi mereka sangat
bahagia.
Tidak seperti aku, ayah berangkat kerja saat aku masih tidur dan pulang
pada saat aku sudah tidur. Sedangkan ibu, memang tidak seperti ayah, ibu
pulang lebih awal. Tapi setelah pulang, aku pun tidak disapa tapi malah
dimarahi. Setiap ibu pulang pasti aku disuruh masak dan bersih-bersih,
padahal ada pembantu. Ibu bilang “ayah sama ibu kerja siang malam, tapi
kamu malah enak-enakan tinggal makan sama tidur, masak sendiri lalu
bersih-bersih biar rumah jadi nyaman ditempati kan kamu juga yang
menempati rumah ini!”
“Nitaaaaa, halaman depan belum disapu, cepat di sapu!!” seperti biasa ibu marah-marah, nyuruh aku bersih-bersih.
“Tapi nita lagi belajar bu.”
“Kalau disuruh orang tua itu harus dituruti.”
“Iya, bu.” Dengan malas Nita menyapu halaman depan.
Dear Diary,
Hari ini Aku tidak bertemu ayah.
Ibu tadi marah-marah lagi. Karena aku mengotori lantai. Ibu bilang aku
tidak pernah bersih-bersih malah bisanya mengotori. Padahal kan setiap
hari aku bersih-bersih bahkan baru satu kali ini aku mengotori rumah
itupun aku tidak sengaja. Sekarang Ibu menyuruhku memasak lagi. Aku
bingung mau memasak apa, bahan makanan sudah habis. Biasanya Ibu yang
membeli bahan makanan. Tapi tadi Ibu bilang “Masak saja apa yang ada,
Ibu tidak sempat belanja. Sudahlah kamu itu tingal masak saja kok
protes.”
Hari ini Nita bertanya kepada Ibu,
“Bu, ayah kok pulangnya jarang?”
Dengan nada marah, Ibu berkata “Selama ini ayah bekerja keras untuk membiayai makan dan sekolah kamu. NGERTI.....?”
Itu bukanlah jawaban yang diinginkan Nita. Tapi memang seperti itulah
adanya. Seperti biasa Nita menulis di diary semua yang dialaminya. Kali
ini Nita juga menulis apa yang barusan dialaminya.
Dear Diary,
Hari ini ayah tidak pulang.
Dan seperti biasa Ibu menyuruhku masak. Dan anehnya Ibu tadi berkata
kalau aku memasak hanya itu-itu saja. Bagaimana aku bisa memasak dengan
menu yang berbeda-beda, Ibu saja membeli bahan masakan juga hanya
itu-itu saja setiap hari. Sudahlah.
Tadi aku bertanya kepada Ibu, kenapa Ayah pulangnya jarang. Lalu Ibu
menjawab dengan nada marah. Apakah Ayah dan Ibu tidak Ikhlas membiayai
kehidupanku yaa? Aku tidak tahu.
Hari ini Nita pergi ke rumah neneknya. Nita sangat betah bila berada di
rumah nenek. Tidak tahu kenapa Nita menceritakan apa yang dialaminya di
rumah kepada neneknya. Bukan bermaksud mengadu, Nita bukanlah anak yang
suka mengadu. Setelah Nita menceritakan semua yang dialaminya, tiba-tiba
neneknya menangis.
“Apa yang terjadi? Mengapa nenek menangis?” Nita bertanya dengan penasaran.
Dengan wajah bingung dan serba
salah akhirnya nenek berkata “Sepertinya sudah saatnya nenek memberitahu
kamu, Nita.” Nenek berkata dengan air mata yang sudah memenuhi pipinya.
“Apa yang terjadi pada nenek, cepat beritahu Nita nek.” Nita bertanya
dengan air mata yang sudah menetes karena melihat neneknya menangis.
“Maafkan Nenek, Nita. Karena baru memberitahu kamu sekarang. Tapi nenek mohon Nita jangan menangis.”
Nenek sangat bingung apakah dia
akan melanjutkan peerkataannya atau tidak. Tapi melihat wajah Nita yang
sepertinya sangat ingin nenek meneruskan perkataannya. Akhirnya nenek
menyerah, “Sebenarnya Nita bukanlah anak kandung dari ayah dan Ibu, Ini
bukan salah mereka tapi salah nenek. Nenek ingin sekali mempunyai cucu.
Tapi Ayah dan Ibu kamu tidak bisa mempunyai keturunan, dan nenek memaksa
mereka untuk mengambil kamu di panti asuhan. Seandainya nenek
membiarkan kamu di panti asuhan itu pasti kamu akan menemukan orang tua
yang lebih baik dari ayah dan ibu nita yang sekarang. Maafkan nenek,
Nita. Ini bukan salah Ayah dan Ibu Nita.” Akhirnya selesai perkataan
yang sulit untuk dikatakan dan sangat pahit itu..
Tentu saja Nita menangis. Tapi dia mencoba untuk tegar. “Nenek jangan
menangis, ini bukan salah nenek. Lebih baik Nita pulang sekarang.
Permisi nenek.” Nita berkata dengan air mata yang jatuh ke pipinya dan
langsung berlari ke luar rumah neneknya itu untuk langsung pulang.
Di perjalanan, Nita terus saja menangis. Dia tidak menyalahkan
siapa-siapa. Dia menyalahkan dirinya sendiri, karena tidak bisa membuat
orang tuanya bangga. Sehingga dia tidak diperhatikan oleh kedua orang
tuanya. Di tengah-tengah perjalanan, Nita berhenti untuk menenangkan
hatinya. Dia mengeluarkan diary-nya yang selama ini menjadi temannya
yang paling setia. Dia selalu menuliskan apa yang tertulis dihatinya ke
diary itu. Kali ini dia juga akan menuliskan apa yang telah didengarnya
dari nenek. Dia akan menulis di Diary itu untuk terakhir kalinya. Nita
mulai menulis.
Dear Diary,
Nenek mengatakan padaku bahwa aku hanyalah anak angkat. Bagaimana
mungkin selama ini aku baru tahu kalau aku itu anak angkat. Nenek bilang
ini salahnya, tapi aku tidak menganggap ini salahnya. Ini juga bukan
salah kedua orang tua angkatku. Ini adalah salah orang tua kandungku
yang meninggalkan aku di panti asuhan. Oh, tidak ini bukan salah
siapa-siapa,, percuma nasi telah menjadi bubur.
Mungkin karena aku hanyalah anak angkat, jadi orang tua angkatku tidak
memperhatikan aku selama ini. Ini adalah salahku karena tidak bisa
membanggakan mereka. Maafkan Nita.
Apa yang harus Nita lakukan sekarang? Mungkin Nita tidak akan pulang ke
rumah lagi. Nita tidak ingin menyusahkan orang tua angkat Nita lagi. Dan
Nita juga tidak mungkin tinggal di rumah nenek, dia sudah terlalu tua.
Mungkin Nita harus pergi jauh. Jauh sekali. Meninggalkan semuanya.
meninggalkan orang tua angkat Nita yang selama ini membesarkan Nita
walaupun Nita tidak diperhatikan sama sekali. Dan Nita juga harus
meninggalkan nenek yang selama ini menyayangi Nita. Maafkan Nita selama
ini karena menyusahkan kalian. Ayah, Ibu maafkan Nita selama ini karena
sudah menjadi beban hidup kalian. Sekali lagi maafkan Nita.
Nita menutup buku diary-nya. Lalu dia berdiri, walaupun terasa berat
untuk berdiri, Nita harus berdiri. Lalu nita berjalan menyusuri jalan
raya yang sangat ramai. Tapi menurut Nita jalan itu seperti jalan
setapak yang sangat sepi, dikelilingi oleh jurang dan disepanjang jalan
terdapat duri-duri yang sangat tajam. Yang membuat Nita tidak ingin
meneruskan perjalanannya. Tapi Nita sudah membulatkan tekadnya. Nita
harus meneruskan perjalanannya.
Kali ini Nita sudah sampai di depan rumah. Nita tidak bertekad untuk
masuk ke dalam rumah. Dia hanya memandangi rumah itu dengan sedih. Dia
lebih mendekat ke rumah itu. Nita meletakkan buku diary-nya di meja
depan rumah. Nita berkata “Maafkan Nita selama ini. Nita meninggalkan
diary Nita agar kalian membacanya. Nita tidak tahu apakah kalian akan
membacanya atau tidak. Dan sekali lagi Nita minta maaf. Nita harus
pergi.” Nita berharap kedua orang tuanya mendengar apa yang
dikatakannya.
Nita pergi dengan perasaan sedih, tapi Nita tidak ingin menangis. Nita
berjalan tanpa tujuan. Nita terus berjalan berjalan dan berjalan untuk
meneruskan hidupnya.
Labels: Sad Story
Diary jadi saksi
WRITTEN BY kucumcucum Friday, September 7, 2012 [
0 comments ]
By : Tari Indar
Hari yang cerah. Tetapi tidak secerah keadaan di rumah mewah milik
pengusaha sukses itu. Di dalam rumah itu ada seorang anak bernama Nita
yang sedang dimarahi ibunya. Itulah yang dialaminya setiap hari. Selalu
menjadi seperti pembantu. Tapi memang itulah jalan hidupnya.
“Nit,mana makanannya?”
“iya, bu ini belum jadi.”
“Kamu bisa masak gak sih..?”
“Maaf,bu,”
Dear Diary,
Seperti biasa aku dimarahi lagi sama ibu.
Ya Tuhan, kenapa aku dilahirkan dari ibu yang galak dan ayah yang tidak
perhatian. Aku iri dengan teman-temanku, mereka tidak disuruh masak,
bersih-bersih, dll. Memang mereka tidak sekaya aku, tapi mereka sangat
bahagia.
Tidak seperti aku, ayah berangkat kerja saat aku masih tidur dan pulang
pada saat aku sudah tidur. Sedangkan ibu, memang tidak seperti ayah, ibu
pulang lebih awal. Tapi setelah pulang, aku pun tidak disapa tapi malah
dimarahi. Setiap ibu pulang pasti aku disuruh masak dan bersih-bersih,
padahal ada pembantu. Ibu bilang “ayah sama ibu kerja siang malam, tapi
kamu malah enak-enakan tinggal makan sama tidur, masak sendiri lalu
bersih-bersih biar rumah jadi nyaman ditempati kan kamu juga yang
menempati rumah ini!”
“Nitaaaaa, halaman depan belum disapu, cepat di sapu!!” seperti biasa ibu marah-marah, nyuruh aku bersih-bersih.
“Tapi nita lagi belajar bu.”
“Kalau disuruh orang tua itu harus dituruti.”
“Iya, bu.” Dengan malas Nita menyapu halaman depan.
Dear Diary,
Hari ini Aku tidak bertemu ayah.
Ibu tadi marah-marah lagi. Karena aku mengotori lantai. Ibu bilang aku
tidak pernah bersih-bersih malah bisanya mengotori. Padahal kan setiap
hari aku bersih-bersih bahkan baru satu kali ini aku mengotori rumah
itupun aku tidak sengaja. Sekarang Ibu menyuruhku memasak lagi. Aku
bingung mau memasak apa, bahan makanan sudah habis. Biasanya Ibu yang
membeli bahan makanan. Tapi tadi Ibu bilang “Masak saja apa yang ada,
Ibu tidak sempat belanja. Sudahlah kamu itu tingal masak saja kok
protes.”
Hari ini Nita bertanya kepada Ibu,
“Bu, ayah kok pulangnya jarang?”
Dengan nada marah, Ibu berkata “Selama ini ayah bekerja keras untuk membiayai makan dan sekolah kamu. NGERTI.....?”
Itu bukanlah jawaban yang diinginkan Nita. Tapi memang seperti itulah
adanya. Seperti biasa Nita menulis di diary semua yang dialaminya. Kali
ini Nita juga menulis apa yang barusan dialaminya.
Dear Diary,
Hari ini ayah tidak pulang.
Dan seperti biasa Ibu menyuruhku masak. Dan anehnya Ibu tadi berkata
kalau aku memasak hanya itu-itu saja. Bagaimana aku bisa memasak dengan
menu yang berbeda-beda, Ibu saja membeli bahan masakan juga hanya
itu-itu saja setiap hari. Sudahlah.
Tadi aku bertanya kepada Ibu, kenapa Ayah pulangnya jarang. Lalu Ibu
menjawab dengan nada marah. Apakah Ayah dan Ibu tidak Ikhlas membiayai
kehidupanku yaa? Aku tidak tahu.
Hari ini Nita pergi ke rumah neneknya. Nita sangat betah bila berada di
rumah nenek. Tidak tahu kenapa Nita menceritakan apa yang dialaminya di
rumah kepada neneknya. Bukan bermaksud mengadu, Nita bukanlah anak yang
suka mengadu. Setelah Nita menceritakan semua yang dialaminya, tiba-tiba
neneknya menangis.
“Apa yang terjadi? Mengapa nenek menangis?” Nita bertanya dengan penasaran.
Dengan wajah bingung dan serba
salah akhirnya nenek berkata “Sepertinya sudah saatnya nenek memberitahu
kamu, Nita.” Nenek berkata dengan air mata yang sudah memenuhi pipinya.
“Apa yang terjadi pada nenek, cepat beritahu Nita nek.” Nita bertanya
dengan air mata yang sudah menetes karena melihat neneknya menangis.
“Maafkan Nenek, Nita. Karena baru memberitahu kamu sekarang. Tapi nenek mohon Nita jangan menangis.”
Nenek sangat bingung apakah dia
akan melanjutkan peerkataannya atau tidak. Tapi melihat wajah Nita yang
sepertinya sangat ingin nenek meneruskan perkataannya. Akhirnya nenek
menyerah, “Sebenarnya Nita bukanlah anak kandung dari ayah dan Ibu, Ini
bukan salah mereka tapi salah nenek. Nenek ingin sekali mempunyai cucu.
Tapi Ayah dan Ibu kamu tidak bisa mempunyai keturunan, dan nenek memaksa
mereka untuk mengambil kamu di panti asuhan. Seandainya nenek
membiarkan kamu di panti asuhan itu pasti kamu akan menemukan orang tua
yang lebih baik dari ayah dan ibu nita yang sekarang. Maafkan nenek,
Nita. Ini bukan salah Ayah dan Ibu Nita.” Akhirnya selesai perkataan
yang sulit untuk dikatakan dan sangat pahit itu..
Tentu saja Nita menangis. Tapi dia mencoba untuk tegar. “Nenek jangan
menangis, ini bukan salah nenek. Lebih baik Nita pulang sekarang.
Permisi nenek.” Nita berkata dengan air mata yang jatuh ke pipinya dan
langsung berlari ke luar rumah neneknya itu untuk langsung pulang.
Di perjalanan, Nita terus saja menangis. Dia tidak menyalahkan
siapa-siapa. Dia menyalahkan dirinya sendiri, karena tidak bisa membuat
orang tuanya bangga. Sehingga dia tidak diperhatikan oleh kedua orang
tuanya. Di tengah-tengah perjalanan, Nita berhenti untuk menenangkan
hatinya. Dia mengeluarkan diary-nya yang selama ini menjadi temannya
yang paling setia. Dia selalu menuliskan apa yang tertulis dihatinya ke
diary itu. Kali ini dia juga akan menuliskan apa yang telah didengarnya
dari nenek. Dia akan menulis di Diary itu untuk terakhir kalinya. Nita
mulai menulis.
Dear Diary,
Nenek mengatakan padaku bahwa aku hanyalah anak angkat. Bagaimana
mungkin selama ini aku baru tahu kalau aku itu anak angkat. Nenek bilang
ini salahnya, tapi aku tidak menganggap ini salahnya. Ini juga bukan
salah kedua orang tua angkatku. Ini adalah salah orang tua kandungku
yang meninggalkan aku di panti asuhan. Oh, tidak ini bukan salah
siapa-siapa,, percuma nasi telah menjadi bubur.
Mungkin karena aku hanyalah anak angkat, jadi orang tua angkatku tidak
memperhatikan aku selama ini. Ini adalah salahku karena tidak bisa
membanggakan mereka. Maafkan Nita.
Apa yang harus Nita lakukan sekarang? Mungkin Nita tidak akan pulang ke
rumah lagi. Nita tidak ingin menyusahkan orang tua angkat Nita lagi. Dan
Nita juga tidak mungkin tinggal di rumah nenek, dia sudah terlalu tua.
Mungkin Nita harus pergi jauh. Jauh sekali. Meninggalkan semuanya.
meninggalkan orang tua angkat Nita yang selama ini membesarkan Nita
walaupun Nita tidak diperhatikan sama sekali. Dan Nita juga harus
meninggalkan nenek yang selama ini menyayangi Nita. Maafkan Nita selama
ini karena menyusahkan kalian. Ayah, Ibu maafkan Nita selama ini karena
sudah menjadi beban hidup kalian. Sekali lagi maafkan Nita.
Nita menutup buku diary-nya. Lalu dia berdiri, walaupun terasa berat
untuk berdiri, Nita harus berdiri. Lalu nita berjalan menyusuri jalan
raya yang sangat ramai. Tapi menurut Nita jalan itu seperti jalan
setapak yang sangat sepi, dikelilingi oleh jurang dan disepanjang jalan
terdapat duri-duri yang sangat tajam. Yang membuat Nita tidak ingin
meneruskan perjalanannya. Tapi Nita sudah membulatkan tekadnya. Nita
harus meneruskan perjalanannya.
Kali ini Nita sudah sampai di depan rumah. Nita tidak bertekad untuk
masuk ke dalam rumah. Dia hanya memandangi rumah itu dengan sedih. Dia
lebih mendekat ke rumah itu. Nita meletakkan buku diary-nya di meja
depan rumah. Nita berkata “Maafkan Nita selama ini. Nita meninggalkan
diary Nita agar kalian membacanya. Nita tidak tahu apakah kalian akan
membacanya atau tidak. Dan sekali lagi Nita minta maaf. Nita harus
pergi.” Nita berharap kedua orang tuanya mendengar apa yang
dikatakannya.
Nita pergi dengan perasaan sedih, tapi Nita tidak ingin menangis. Nita
berjalan tanpa tujuan. Nita terus berjalan berjalan dan berjalan untuk
meneruskan hidupnya.
Labels: Sad Story