Pelangi di awal kelabu
WRITTEN BY kucumcucum
♥Friday, September 7, 2012 [
0 comments ]
By: Luthfi Bagas Pambudi
Ku rasakan detak jantungku berdetak tak menentu. Terkadang seirama
dengan detakan jam, terkadang pula sekencang bunyi gendrang yang di
pukul secara membahana. Bahkan dada ini terasa sakit bila jantungku
berdetak seperti itu. Di tambah, deru nafasku yang sesak dan mulai
bernyanyi dengan nyaring. Hal ini biasa terjadi padaku dalam waktu yang
tiba – tiba, bahkan tak terduga.
Tubuhku pun mulai terasa lemas ketika aku harus berlari mengitari
lapangan sekolah karena mata pelajaranku kali ini adalah Penjaskes.
Tubuhku pun betambah lemas lagi ketika otakku terasa berdetak nyeri di
dalam kepala ini karena sakit ku kambuh secara tak terduga, dan terik
matahari yang mulai menyengat kulit di siang hari.
Seorang kakak kelas berbaju putih abu – abu yang ku suka pun tampak
mendekat, mencoba menangkap tubuh yang lemas ini. Nafasnya yang hangat
menerpa wajahku. Aroma tubuhnya yang maskulin menjadi obat penidur
untukku, di dalam dekapannya kini.
Beberapa saat berlalu, mimpi gelapku terusik oleh langkah – langkah kaki
yang gaduh di sekitarku. Perlahan mulai kubuka kedua mata yang terasa
berat ini. Dan hal pertama yang ku lihat , meski dalam keadaan pusing
dan kabur adalah langit – langit gedung yang bergerak cepat di atasku,
seirama dengan tubuhku yang dibawa di atas ranjang Rumah Sakit oleh
orang – orang yang ku kenali sebagai sahaba – sahabatku, dan beberapa
orang perawat cantik yang membawa infus sembari berlari, mencoba
menyamai kecepatan langkahnya denganku di atas ranjang berjalan ini.
Tubuhku pun di bawa ke dalam sebuah ruangan oleh para perawat itu,
sementara sahabat – sahabatku di tahan di luar ruangan oleh 2 perawat
lainnya yang menunggu di luar ruangan.
Di dalam ruangan, hidung dan mulutku di tutupi oleh sebuah alat bantu
pernafasan yang lumayan membantuku. Infus kembali di pasang di tanganku,
dan membuatku jadi panik dan gelisah sendiri.
Seorang pria setengah baya masuk ke dalam ruangan dengan mengenakan jas
putih dan beberapa perlengkapan dokternya yang di jadikan satu di dalam
sebuah tas hitam yang ia bawa.
Aku langsung memejamkan mata ketika Sang Dokter mengangguk, memberikan
instruksi kepada dua perawat wanita yang kini berada di kanan – kiriku.
Selama memejamkan mata, sempat terbayang wajah – wajah orang yang ku
sayang. Wajah tante yang menjadi wakilku, wajah sahabat – sahabatku, dan
tentu saja, wajah orang yang aku cintai, Kak Dika.
Namun, ketika seseorang memasukkan ujung tajam dari jarum suntik ke
kulitku, wajah – wajah itu segenap berubah menjadi keharuan hingga ku
sadari beberapa tetes air mataku jatuh dan membasahi pipiku.
Wajah – wajah itu berubah sedih dan penuh keharuan. Bahkan, sempat
terlintas kenangan – kenangan pahitku. Terutama, kenangan pahitku
tentang kak Dika yang sampai saat ini tak mengetahui bahwa aku sangat
menyayanginya. Tapi, sayang, ku tahu ia telah dimiliki wanita cantik
yang kutahu adalah kekasihnya.
Jarum suntik pun di keluarkan, dan mata serta detak jantung yang
menyakitkan dalam setiap detakanannya ini pun perlahan menjadi pusat
pemeriksaan oleh Sang Dokter dan beberapa perawatnya.
Sebuah alat pendeteksi jantung yang berada di sebelahku pun berbunyi aneh, tak seperti bunyi pada jantung orang yang normal.
Sempat ku lihat sang Dokter menggelengkan kepala kepada tatapan sedih
para perawat, yang masih berdiri di sisiku itu. Aku pun kembali menutup
mata dan mencoba untuk melihat wajah malaikat yang akan menyabut
nyawaku, karena penyakit leukimia yang ku alami ini sudah benar – benar
tak bisa di sembuhkan lagi. Padahal, seudah banyak usaha yang ku lakukan
bersama tante dan sahabat – sahabatku untuk mencari obat penyembuh dari
penyakit ini. Tapi ternyata, Tuahn lebih memilih untuk menjemputku di
waktu yang tepat ini. Dimana, masih ada orang – orang yang ku sayangi,
dan yang menyayangiku. Dan, masih ada dunia yang harus ku jelajahi ini.
Dan, suara pintu yang terbuka dengan keras di ruangan itu pun
mengagetkanku hingga membuat mataku yang semula terpejam, malah terbuka
hingga sesaat ku lupakan pikiran – pikiran ku tadi.
Seorang wanita cantik bagai malaikat masuk dan langsung berlari
memelukku sangat erat. Hingga tak mungkin bisa terlepaskan. Wanita itu
menangis di dalam dekapan sayangnya padaku. Ya, ialah tanteku. Orang
yang paling ku sayang di dunia ini, karena aku hanya sebatang kara tanpa
dirinya.
Bisa ku rasakan suasana haru yang pecah di ruangan ini. Satu persatu
sahabat ku masuk dengan mata yang basah dan lebam oleh air mata yang
mereka keluarkan.
Semua langsung mendekatiku dan memelukku secara bergantian dengan sangat
erat, layaknya aku akan segera pergi meninggalkan mereka. Yang memang
benar adanya.
Ku rasakan jantungku mulai melemah, seirama dengan nada yang dikeluarkan
oleh alat pendeteksi jantung yang berada di sampingku. Tapi, seseorang
datang terlambat dan menghampiriku, hingga membuat jantungku berdetak
normal karena keberadaannya. Senyum manisnya melemaskan otot – ototku
yang sebenarnya akan tak berfungsi lagi.
Semua yang melihat keadaanku langsung mengerti dan meninggalkan ku
berdua saja dengannya, di dalam ruangan yang berbau obat, dan ruangan
yang di penuhi dengan nada – nada yang di keluarkan oleh alat pendeteksi
jantung, dan tentu saja deru nafasku yang bergetar olehnya.
“Hey. . .!” itulah kata pertama yang keluar dari bibir manisnya, yang
langsung memecah kesunyian di antara kami. Wajahnya yang rupawan dengan
lesung pipit dan model rambut yang maskulin itu tampak seperti wajah
malaikat bagiku, bagi hatiku. “Hmmm. . .” kakinya bergerak salah
tingkah, tapi itu tak mengurangi semua keindahan yang ada pada dirinya.
“Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ku bicarakan padamu.” Tubuh ku
yang semula lemas, kini terasa terlonjak ketika tangan lembut dan
kekarnya menggenggam tanganku dengan penuh kasih. “Sebenarnya, aku dan
Viola hanya sekedar teman. Dan, tak ada hubungan apa pun yang melebihi
itu.” Ia diam sesaat, seraya menatap lekat mataku. “Sebenarnya, memang
benar kalau dia pernah menembakku. Itu pun 2 minggu yang lalu.”
Air mataku langsung menetes deras, Jntungku berdetak kencang dengan
membahana, ketika ia berkata seperti itu. Tapi, aku tetap menunggu
perkataannya yang selanjutnya.
“Tapi aku menolaknya dan memberikan hatiku pada seseorang. . . “
perkataannya terhenti ketika dari dalam tas, ia mengeluarkan sebuah
album foto mini, dan ia tunjukan beberapa foto yang membuatku terkejut
bagai tersengat listrik. “Seseorang yang mengumpulkan foto – foto ini
untukku.” Mulutku tergagap ketika ia berkata seperti itu. Dalam hati aku
bertanya – tanya, dari mana ia mendapatkan kumpulan foto – fotonya yang
selama ini ku dapatkan dan ku kumpulkan?
“Aku mendapatkannya dari sahabat – sahabatmu.” Katanya pelan, seperti
membaca pikiranku. “Mereka memberikanku semuanya. Bahkan bukan ini saja
yang ku tahu. Semua surat dan cokelat yang tak berketerangan pengirimnya
pun aku tahu dari siapa. Kamu, Susan. Tapi, kenapa kamu gak beritahu
aku saja yang sebenarnya? Apa kau tak tahu kalau aku. . . . “ aku benci
dengan jeda yang ia selipkan di antara kata – katanya. “Aku juga sayang
sama kamu. Aku sebenarnya ingin menembakmu sudah lama. Tapi aku tak
pernah menemukan waktu yang tepat.”
Senyumnya membuat bibirku juga melengkung senang dan puas dengan hasil
kerja keras ku yang selama ini tak sia – sia. Terlebih, ketika ia
memeluk tubuh lemahku ini, beberapa memori dalam benakku yang
mengingatkan ku tentang usaha bersama sahabat – sahabatku untuk mencari
perhatian Kak Diki padaku.
“Jadi, dengan ini, aku harap kamu bisa berjuang dalam melawan penyakitmu
ini. Karena aku akan ada terus di sampingmu sebagai. . . . Sebagai
seorang kekasih.”
Air mataku kembali menetes, bahkan lebih deras lagi. Ini semua bagai
pelangi di awal kelabu. Dimana, Cinta Kak Dika datang padaku, tepat
ketika ajal mulai menjemputku.
Tapi, secara tiba – tiba, di suasana yang haru itu, jantungku pun terasa
berdetak menyakitkan di dalam dada ini, dalam frekuensi detakannya yang
pelan. Sempat ku lihat cahaya keperakan di balik tubuh Kak Dika, serta
sekelebat bayangan berwarna hitam pekat di sekitarku
Dan, kata terakhirku yang menuntaskan semuanya pun dapat keluar dari
mulut yang semula bisu ini. “Kak. . . Aku sayang kakak. Aku nggak ingin
pergi meninggalkan kakak. Aku butuh kakak di sampingku. . . . Tapi,
Susan mohon maaf. . . Karena ia telah menjemputku. Lihatlah cahaya
keperakan itu, kak. Itulah pintu yang akan ku lalui. Selamat tinggal,
Kak. Salam untuk tante dan sahabat – sahabatku.”
“Susan! Kamu harus kuat! Kamu harus bertahan! Aku nggak ingin kamu
pergi! Susan! Tolong, bukalah matamu!!” suara Kak Dika yang histeris
menjadi obat penidur ku untuk selamanya.
Big thanks to
Labels: Sad Story
Pelangi di awal kelabu
WRITTEN BY kucumcucum Friday, September 7, 2012 [
0 comments ]
By: Luthfi Bagas Pambudi
Ku rasakan detak jantungku berdetak tak menentu. Terkadang seirama
dengan detakan jam, terkadang pula sekencang bunyi gendrang yang di
pukul secara membahana. Bahkan dada ini terasa sakit bila jantungku
berdetak seperti itu. Di tambah, deru nafasku yang sesak dan mulai
bernyanyi dengan nyaring. Hal ini biasa terjadi padaku dalam waktu yang
tiba – tiba, bahkan tak terduga.
Tubuhku pun mulai terasa lemas ketika aku harus berlari mengitari
lapangan sekolah karena mata pelajaranku kali ini adalah Penjaskes.
Tubuhku pun betambah lemas lagi ketika otakku terasa berdetak nyeri di
dalam kepala ini karena sakit ku kambuh secara tak terduga, dan terik
matahari yang mulai menyengat kulit di siang hari.
Seorang kakak kelas berbaju putih abu – abu yang ku suka pun tampak
mendekat, mencoba menangkap tubuh yang lemas ini. Nafasnya yang hangat
menerpa wajahku. Aroma tubuhnya yang maskulin menjadi obat penidur
untukku, di dalam dekapannya kini.
Beberapa saat berlalu, mimpi gelapku terusik oleh langkah – langkah kaki
yang gaduh di sekitarku. Perlahan mulai kubuka kedua mata yang terasa
berat ini. Dan hal pertama yang ku lihat , meski dalam keadaan pusing
dan kabur adalah langit – langit gedung yang bergerak cepat di atasku,
seirama dengan tubuhku yang dibawa di atas ranjang Rumah Sakit oleh
orang – orang yang ku kenali sebagai sahaba – sahabatku, dan beberapa
orang perawat cantik yang membawa infus sembari berlari, mencoba
menyamai kecepatan langkahnya denganku di atas ranjang berjalan ini.
Tubuhku pun di bawa ke dalam sebuah ruangan oleh para perawat itu,
sementara sahabat – sahabatku di tahan di luar ruangan oleh 2 perawat
lainnya yang menunggu di luar ruangan.
Di dalam ruangan, hidung dan mulutku di tutupi oleh sebuah alat bantu
pernafasan yang lumayan membantuku. Infus kembali di pasang di tanganku,
dan membuatku jadi panik dan gelisah sendiri.
Seorang pria setengah baya masuk ke dalam ruangan dengan mengenakan jas
putih dan beberapa perlengkapan dokternya yang di jadikan satu di dalam
sebuah tas hitam yang ia bawa.
Aku langsung memejamkan mata ketika Sang Dokter mengangguk, memberikan
instruksi kepada dua perawat wanita yang kini berada di kanan – kiriku.
Selama memejamkan mata, sempat terbayang wajah – wajah orang yang ku
sayang. Wajah tante yang menjadi wakilku, wajah sahabat – sahabatku, dan
tentu saja, wajah orang yang aku cintai, Kak Dika.
Namun, ketika seseorang memasukkan ujung tajam dari jarum suntik ke
kulitku, wajah – wajah itu segenap berubah menjadi keharuan hingga ku
sadari beberapa tetes air mataku jatuh dan membasahi pipiku.
Wajah – wajah itu berubah sedih dan penuh keharuan. Bahkan, sempat
terlintas kenangan – kenangan pahitku. Terutama, kenangan pahitku
tentang kak Dika yang sampai saat ini tak mengetahui bahwa aku sangat
menyayanginya. Tapi, sayang, ku tahu ia telah dimiliki wanita cantik
yang kutahu adalah kekasihnya.
Jarum suntik pun di keluarkan, dan mata serta detak jantung yang
menyakitkan dalam setiap detakanannya ini pun perlahan menjadi pusat
pemeriksaan oleh Sang Dokter dan beberapa perawatnya.
Sebuah alat pendeteksi jantung yang berada di sebelahku pun berbunyi aneh, tak seperti bunyi pada jantung orang yang normal.
Sempat ku lihat sang Dokter menggelengkan kepala kepada tatapan sedih
para perawat, yang masih berdiri di sisiku itu. Aku pun kembali menutup
mata dan mencoba untuk melihat wajah malaikat yang akan menyabut
nyawaku, karena penyakit leukimia yang ku alami ini sudah benar – benar
tak bisa di sembuhkan lagi. Padahal, seudah banyak usaha yang ku lakukan
bersama tante dan sahabat – sahabatku untuk mencari obat penyembuh dari
penyakit ini. Tapi ternyata, Tuahn lebih memilih untuk menjemputku di
waktu yang tepat ini. Dimana, masih ada orang – orang yang ku sayangi,
dan yang menyayangiku. Dan, masih ada dunia yang harus ku jelajahi ini.
Dan, suara pintu yang terbuka dengan keras di ruangan itu pun
mengagetkanku hingga membuat mataku yang semula terpejam, malah terbuka
hingga sesaat ku lupakan pikiran – pikiran ku tadi.
Seorang wanita cantik bagai malaikat masuk dan langsung berlari
memelukku sangat erat. Hingga tak mungkin bisa terlepaskan. Wanita itu
menangis di dalam dekapan sayangnya padaku. Ya, ialah tanteku. Orang
yang paling ku sayang di dunia ini, karena aku hanya sebatang kara tanpa
dirinya.
Bisa ku rasakan suasana haru yang pecah di ruangan ini. Satu persatu
sahabat ku masuk dengan mata yang basah dan lebam oleh air mata yang
mereka keluarkan.
Semua langsung mendekatiku dan memelukku secara bergantian dengan sangat
erat, layaknya aku akan segera pergi meninggalkan mereka. Yang memang
benar adanya.
Ku rasakan jantungku mulai melemah, seirama dengan nada yang dikeluarkan
oleh alat pendeteksi jantung yang berada di sampingku. Tapi, seseorang
datang terlambat dan menghampiriku, hingga membuat jantungku berdetak
normal karena keberadaannya. Senyum manisnya melemaskan otot – ototku
yang sebenarnya akan tak berfungsi lagi.
Semua yang melihat keadaanku langsung mengerti dan meninggalkan ku
berdua saja dengannya, di dalam ruangan yang berbau obat, dan ruangan
yang di penuhi dengan nada – nada yang di keluarkan oleh alat pendeteksi
jantung, dan tentu saja deru nafasku yang bergetar olehnya.
“Hey. . .!” itulah kata pertama yang keluar dari bibir manisnya, yang
langsung memecah kesunyian di antara kami. Wajahnya yang rupawan dengan
lesung pipit dan model rambut yang maskulin itu tampak seperti wajah
malaikat bagiku, bagi hatiku. “Hmmm. . .” kakinya bergerak salah
tingkah, tapi itu tak mengurangi semua keindahan yang ada pada dirinya.
“Sebenarnya, ada banyak hal yang ingin ku bicarakan padamu.” Tubuh ku
yang semula lemas, kini terasa terlonjak ketika tangan lembut dan
kekarnya menggenggam tanganku dengan penuh kasih. “Sebenarnya, aku dan
Viola hanya sekedar teman. Dan, tak ada hubungan apa pun yang melebihi
itu.” Ia diam sesaat, seraya menatap lekat mataku. “Sebenarnya, memang
benar kalau dia pernah menembakku. Itu pun 2 minggu yang lalu.”
Air mataku langsung menetes deras, Jntungku berdetak kencang dengan
membahana, ketika ia berkata seperti itu. Tapi, aku tetap menunggu
perkataannya yang selanjutnya.
“Tapi aku menolaknya dan memberikan hatiku pada seseorang. . . “
perkataannya terhenti ketika dari dalam tas, ia mengeluarkan sebuah
album foto mini, dan ia tunjukan beberapa foto yang membuatku terkejut
bagai tersengat listrik. “Seseorang yang mengumpulkan foto – foto ini
untukku.” Mulutku tergagap ketika ia berkata seperti itu. Dalam hati aku
bertanya – tanya, dari mana ia mendapatkan kumpulan foto – fotonya yang
selama ini ku dapatkan dan ku kumpulkan?
“Aku mendapatkannya dari sahabat – sahabatmu.” Katanya pelan, seperti
membaca pikiranku. “Mereka memberikanku semuanya. Bahkan bukan ini saja
yang ku tahu. Semua surat dan cokelat yang tak berketerangan pengirimnya
pun aku tahu dari siapa. Kamu, Susan. Tapi, kenapa kamu gak beritahu
aku saja yang sebenarnya? Apa kau tak tahu kalau aku. . . . “ aku benci
dengan jeda yang ia selipkan di antara kata – katanya. “Aku juga sayang
sama kamu. Aku sebenarnya ingin menembakmu sudah lama. Tapi aku tak
pernah menemukan waktu yang tepat.”
Senyumnya membuat bibirku juga melengkung senang dan puas dengan hasil
kerja keras ku yang selama ini tak sia – sia. Terlebih, ketika ia
memeluk tubuh lemahku ini, beberapa memori dalam benakku yang
mengingatkan ku tentang usaha bersama sahabat – sahabatku untuk mencari
perhatian Kak Diki padaku.
“Jadi, dengan ini, aku harap kamu bisa berjuang dalam melawan penyakitmu
ini. Karena aku akan ada terus di sampingmu sebagai. . . . Sebagai
seorang kekasih.”
Air mataku kembali menetes, bahkan lebih deras lagi. Ini semua bagai
pelangi di awal kelabu. Dimana, Cinta Kak Dika datang padaku, tepat
ketika ajal mulai menjemputku.
Tapi, secara tiba – tiba, di suasana yang haru itu, jantungku pun terasa
berdetak menyakitkan di dalam dada ini, dalam frekuensi detakannya yang
pelan. Sempat ku lihat cahaya keperakan di balik tubuh Kak Dika, serta
sekelebat bayangan berwarna hitam pekat di sekitarku
Dan, kata terakhirku yang menuntaskan semuanya pun dapat keluar dari
mulut yang semula bisu ini. “Kak. . . Aku sayang kakak. Aku nggak ingin
pergi meninggalkan kakak. Aku butuh kakak di sampingku. . . . Tapi,
Susan mohon maaf. . . Karena ia telah menjemputku. Lihatlah cahaya
keperakan itu, kak. Itulah pintu yang akan ku lalui. Selamat tinggal,
Kak. Salam untuk tante dan sahabat – sahabatku.”
“Susan! Kamu harus kuat! Kamu harus bertahan! Aku nggak ingin kamu
pergi! Susan! Tolong, bukalah matamu!!” suara Kak Dika yang histeris
menjadi obat penidur ku untuk selamanya.
Big thanks to
Labels: Sad Story