Twin tears
WRITTEN BY kucumcucum
♥Friday, September 7, 2012 [
1 comments ]
By Awaliya Nur Ramadhana
Aku tak tahu apa salahku? Yang
jelas, kedua orangtuaku tak memperhatikanku dan slalu menyuruhku agar
dapat menyenangkan hati adikku. Yap, adikku sekaligus musuhku di rumah
ini.
“Na… Kamu ngapain, sih? Temani adikmu sana! Dia mau kamu temenin main.” Teriak mama yang sibuk dengan kebunnya.
Aku langsung menarik nafas panjang. Ah.. padahal aku mau istirahat dan
nonton sinetron kesayanganku hari ini. terpaksa aku menemani adikku yang
manja itu.
“Kak, aku mau minum susu,” perintahnya kepadaku dengan wajah memelas. Ia
sangat senang bermain denganku. Yah, walaupun aku tak sepenuhnya
menemaninya. Kadang aku tak menghiraukannya dan membiarkannya main
sendirian.
“Hah.. kamu bawel banget, sih?!” tak selang lama setelah kubicara,
handphone ku bunyi. Ternyata teman-temanku ngajak jalan bareng.
“Minta sama mama saja sana! Aku mau jalan sama temen aku!” ujarku langsung beranjak dari hadapannya.
Jalan-jalan memang hobiku. Sayang, waktuku untuk jalan-jalan selalu
dikuras habis oleh adikku hanya untuk menemaninya bermain permainan
konyol itu.
Aku bingung terhadap kedua orangtuaku yang tak mau menyekolahkannya ke
Playgroup atau sejenisnya. Alasannya, hanya karena adikku tidak mau
pisah sama aku. Dan terpaksa, aku sekolah di rumah bersama dengannya.
Kadang bahkan sering aku bosan belajar di rumah dengan hanya seorang
guru.
Aku tak tahu, kenapa mereka
begitu memperhatikan adikku dibanding aku. Mungkin karena adikku cacat.
Ia hanya mempunyai satu tangan . Dan perkiraanku, itu yang membuat
orangtuaku begitu peduli dengannya.
Aku menghabiskan waktu yang lama untuk perjalananku hari ini. aku dan
teman-temanku shopping di mall. Aku tak menghiraukan seberapa lama aku
menghabiskan uang dan waktuku. Karena ini kesempatanku untuk bebas dari
adikku.
“Luna… Kita ke salon, yuk!” Viza, temanku yang sangat mementingkan fashion itu selalu mencari ikesempatan untuk menguras uangku.
“Apa-apaan, sih, Za! Ini sudah malam. Kita harus pulang!!!” Perintah
Lifa. Satu-satunya temanku yang punya perasaan. Dia merupakan penasihat
diantara kami semua.
“Jangan dulu! Lebih baik kita ngisi perut. Aku sudah lapar!!” Satu lagi
orang yang tak memperhatikan temannya. Moy, orang yang paling gemuk
diantara kami. Ia hanya mementingkan perutnya.
“Udahlah! Mending kita jalan-jalan ke distro dulu.” Usulku yang sangat suka shopping.
“Ah, gak asyik semuanya!Udah, mending ke rumahku. Kita nonton film. Aku
baru beli film fantasi kemarin. Seru, lho!! Magicnya hebat, cuy!” Ini
dia, Xey. Satu-satunya cowok yang berteman dengan kami. Sangat suka sama
yang namanya magic. Dan sekarang dia sekolah sulap.
Memang kami semua mempunyai perbedaan yang sangat besar dan jauh. Namun,
kami sudah lama berteman. Sejak aku pindah rumah, aku jadi banyak
memperoleh teman di komplek tempat aku tinggal.
“Aku bilang, kita harus PULANG..!!! Ini sudah malam! Nanti orangtuaku kita nyariin.” Teriak Lifa kesal dengan kami.
“Ah, gak mungkin lah orangtuaku cariin aku.” Ujarku pasti. Tak selang
lama setelah aku mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba papa nelpon.
“Hallo, kenapa, Pa?”
“Kamu kemana aja?! Cepat pulang! Adikmu butuh kamu!” Aku langsung
menutup pembicaraan itu. Aku sudah menebak , jika mereka cariin aku ,
pasti karena adikku yang minta. Kenapa, sih, selalu aku yang disuruh?
“Kenapa, Lun?” tanya Lifa
“Gak. Biasalah, gak penting!” sahutku kecut.
“Oh, ya sudah! Kita pulang sekarang!” Perintah Lifa lagi.
“Gak, Lif! Aku gak mau..!” Bentakku.
“Kamu kenapa, sih?! Ya sudah, TERSERAH! Aku saja yang pulang.” Lifa
marah dan langsung pergi. Kami yang tersisa saling tatap. Akhirnya, kami
memutuskan untuk pergi sendiri-sendiri. Aku yang tidak mau pulang,
pergi ketempat yang semula kuinginkan, distro. Tak jauh dari mall itu,
tepatnya di seberang jalan, ada sebauh disto favoritku. Aku segera
menyeberang jalan raya yang ramai itu tanpa memperdulikan sekitarku.
Ketika ditengah jalan, tak sengaja tasku tersangkut di spion sepeda
motor seseorang. Aku berusaha melepaskannya. Tapi, sepeda motor itu
tetap berjalan. Dan, tepat di depanku, ada sebuah mobil yang melaju
cepat. BRUKKK…( deg..deg.. deg..)
Pandanganku masih remang-remang. Ternyata aku sudah ada di rumah sakit.
Aku di dorong menuju ruang UGD. Kulihat tubuhku berlumuran darah.
Sesampainya di ruang UGD, aku melihat seorang pasien perempuan di
sampingku. Ups, itu kan Leny, adikku. Apa aku tak salah lihat? Atau ini
efek dari benturan di kepalaku? … Adu-uh.. SAKIT
Ternyata aku pingsan lagi. Dan sekarang aku sudah berada di ruang inap.
Kulihat ayah dan ibuku sudah berada di sampingku. Mereka kelihatan
menangis. Apa mereka menangisiku? Apakah sekarang mereka
mengkhawatirkanku?
“Mah… Pah…” ucapku lemah.
“Luna….” Mamah masih menangis. Matanya kelihatan bengkak.
“Adikmu, Lun… Adikmu sedang kritis.” Ucapnya lagi.
Hah… Jadi mamah dan papah bukan menangisiku?! Tapi menangisi Leny!
“Kalian kenapa, sih?! Kenapa selalu Leny yang diperhatikan?! Kalian
tidak pernah mengkhawatirkanku. Apa aku bukan anak kalian?” Bentakku
sudah tidak dapat lagi menahan emosi yang supersulit itu.
“Astaghfirullah, Lun! Tidak seharusnya kau meremehkan adikmu! Dia patut
dikasihani. Apalagi KAU! Kau seharusnya menyayanginya. Karena dia
saudara kembarmu!” ujar mamah keras.
Aku langsung terkejut. Leny saudara kembarku?? Gak mungkin! Secara,
badanku lebih tinggi dan besar darinya. Selain itu, pikirannya masih
kayak anak TK. Padahal aku sudah SMP.
“Ketika kalian lahir, ternyata kalian kembar siam. Dan anggota tubuh
kalian bersatu. Mau-tak mua, kalian harus dioperasi untuk memisahkannya.
Ketika dioperasi, detak jantungmu melemah. Operasi pun dipercepat.
Gara-gara operasi itu, dokter memutuskan untuk memberikan tangan kiri
kalian yang cuma satu itu kepadamu. Leny pun harus rela jadi cacat.
Setelah kalian berumur 3 tahun, kami baru menyadari kalau pertumbuan
Leny lebih lambat dari kamu. Dan ternyata, Leny mengalami pertumbuhan
lambat itu Karena efek dari operasi itu.” Jelas papah tersedu-sedu.
“Leny rela tak mempunyai tangan hanya untuk menyelamatkanmu. Agar kamu
selamat dari operasi itu. dan akibatnya, pertumbuhannya jadi lambat!
Seharusnya, kamu berterima kasih dan menyayanginya.
Air mataku menetes. Hatiku terasa teriris-iris. Aku sangat menyesal. Ya
Tuhan! Ternyata Leny saudara kembarku. Leny, maafkan aku! Mengapa selama
ini, aku tak merasakan ikatan batin seperti yang dirasakan saudara
kembar lainnya. Apakah hatiku ini terlalu keras? Aku harus menebus
kesalahanku pada Leny. Aku segera pergi menuju ruang inap Leny.
Setibanya di sana, apa yang kulihat? Detak jantung Leny semakin melemah.
Kata dokter, Leny harus segera mendapatkan donor ginjal. Tanpa menunggu
lama, aku segera bersedia menjadi pendonor. Aku ingin menebus
kesalahanku pada Leny, sebelum tak ada waktu untukku menebusnya.
Akhirnya, operasi pun dilakukan.
DEG….. DEG…. DEG…..
Tiba-tiba, aku sudah berada di sebuah tempat yang sangat terang. Hanya ada aku dan….Leny? Hah.. dimana kami?
“Kakak.. terima kasih, Ka!” ujar Leny tersenyum.
“Kamu… Leny?” Aku seolah tak percaya dengan semua ini.
“Iya, Ka. Aku Leny. Saudara kembar kakak.” Sahutnya.
“Di mana kita?”
“Kita berada di alam yang berbeda dengan mamah dan papah. Kak, terima kasih kakak telah mau menemaniku di sini.” Ucapnya.
“Apa?!! Maksudmu kita sudah meninggal?!” tanyaku gemetaran.
“Iya, Kak”
Aku diam tanpa kata. Hanya hatiku yang berkata. Akhirnya aku bisa
menebus kesalahanku dengan menemaninya di sini. Yang tersisa hanyalah
airmata Mamah dan Papah di alam sana.
Kami lahir bersama. Bahkan, kami pergi dari dunia ini pun bersama.
PROFIL PENULIS
Hay.. Salam Kenal..
Namaku Awaliya Nur Ramadhana.
Kalau mau Tahu aku kunjungi
http://ramadhan-liya.blogspot.com
thanks to
Labels: Sad Story
Twin tears
WRITTEN BY kucumcucum Friday, September 7, 2012 [
1 comments ]
By Awaliya Nur Ramadhana
Aku tak tahu apa salahku? Yang
jelas, kedua orangtuaku tak memperhatikanku dan slalu menyuruhku agar
dapat menyenangkan hati adikku. Yap, adikku sekaligus musuhku di rumah
ini.
“Na… Kamu ngapain, sih? Temani adikmu sana! Dia mau kamu temenin main.” Teriak mama yang sibuk dengan kebunnya.
Aku langsung menarik nafas panjang. Ah.. padahal aku mau istirahat dan
nonton sinetron kesayanganku hari ini. terpaksa aku menemani adikku yang
manja itu.
“Kak, aku mau minum susu,” perintahnya kepadaku dengan wajah memelas. Ia
sangat senang bermain denganku. Yah, walaupun aku tak sepenuhnya
menemaninya. Kadang aku tak menghiraukannya dan membiarkannya main
sendirian.
“Hah.. kamu bawel banget, sih?!” tak selang lama setelah kubicara,
handphone ku bunyi. Ternyata teman-temanku ngajak jalan bareng.
“Minta sama mama saja sana! Aku mau jalan sama temen aku!” ujarku langsung beranjak dari hadapannya.
Jalan-jalan memang hobiku. Sayang, waktuku untuk jalan-jalan selalu
dikuras habis oleh adikku hanya untuk menemaninya bermain permainan
konyol itu.
Aku bingung terhadap kedua orangtuaku yang tak mau menyekolahkannya ke
Playgroup atau sejenisnya. Alasannya, hanya karena adikku tidak mau
pisah sama aku. Dan terpaksa, aku sekolah di rumah bersama dengannya.
Kadang bahkan sering aku bosan belajar di rumah dengan hanya seorang
guru.
Aku tak tahu, kenapa mereka
begitu memperhatikan adikku dibanding aku. Mungkin karena adikku cacat.
Ia hanya mempunyai satu tangan . Dan perkiraanku, itu yang membuat
orangtuaku begitu peduli dengannya.
Aku menghabiskan waktu yang lama untuk perjalananku hari ini. aku dan
teman-temanku shopping di mall. Aku tak menghiraukan seberapa lama aku
menghabiskan uang dan waktuku. Karena ini kesempatanku untuk bebas dari
adikku.
“Luna… Kita ke salon, yuk!” Viza, temanku yang sangat mementingkan fashion itu selalu mencari ikesempatan untuk menguras uangku.
“Apa-apaan, sih, Za! Ini sudah malam. Kita harus pulang!!!” Perintah
Lifa. Satu-satunya temanku yang punya perasaan. Dia merupakan penasihat
diantara kami semua.
“Jangan dulu! Lebih baik kita ngisi perut. Aku sudah lapar!!” Satu lagi
orang yang tak memperhatikan temannya. Moy, orang yang paling gemuk
diantara kami. Ia hanya mementingkan perutnya.
“Udahlah! Mending kita jalan-jalan ke distro dulu.” Usulku yang sangat suka shopping.
“Ah, gak asyik semuanya!Udah, mending ke rumahku. Kita nonton film. Aku
baru beli film fantasi kemarin. Seru, lho!! Magicnya hebat, cuy!” Ini
dia, Xey. Satu-satunya cowok yang berteman dengan kami. Sangat suka sama
yang namanya magic. Dan sekarang dia sekolah sulap.
Memang kami semua mempunyai perbedaan yang sangat besar dan jauh. Namun,
kami sudah lama berteman. Sejak aku pindah rumah, aku jadi banyak
memperoleh teman di komplek tempat aku tinggal.
“Aku bilang, kita harus PULANG..!!! Ini sudah malam! Nanti orangtuaku kita nyariin.” Teriak Lifa kesal dengan kami.
“Ah, gak mungkin lah orangtuaku cariin aku.” Ujarku pasti. Tak selang
lama setelah aku mengucapkan kalimat itu, tiba-tiba papa nelpon.
“Hallo, kenapa, Pa?”
“Kamu kemana aja?! Cepat pulang! Adikmu butuh kamu!” Aku langsung
menutup pembicaraan itu. Aku sudah menebak , jika mereka cariin aku ,
pasti karena adikku yang minta. Kenapa, sih, selalu aku yang disuruh?
“Kenapa, Lun?” tanya Lifa
“Gak. Biasalah, gak penting!” sahutku kecut.
“Oh, ya sudah! Kita pulang sekarang!” Perintah Lifa lagi.
“Gak, Lif! Aku gak mau..!” Bentakku.
“Kamu kenapa, sih?! Ya sudah, TERSERAH! Aku saja yang pulang.” Lifa
marah dan langsung pergi. Kami yang tersisa saling tatap. Akhirnya, kami
memutuskan untuk pergi sendiri-sendiri. Aku yang tidak mau pulang,
pergi ketempat yang semula kuinginkan, distro. Tak jauh dari mall itu,
tepatnya di seberang jalan, ada sebauh disto favoritku. Aku segera
menyeberang jalan raya yang ramai itu tanpa memperdulikan sekitarku.
Ketika ditengah jalan, tak sengaja tasku tersangkut di spion sepeda
motor seseorang. Aku berusaha melepaskannya. Tapi, sepeda motor itu
tetap berjalan. Dan, tepat di depanku, ada sebuah mobil yang melaju
cepat. BRUKKK…( deg..deg.. deg..)
Pandanganku masih remang-remang. Ternyata aku sudah ada di rumah sakit.
Aku di dorong menuju ruang UGD. Kulihat tubuhku berlumuran darah.
Sesampainya di ruang UGD, aku melihat seorang pasien perempuan di
sampingku. Ups, itu kan Leny, adikku. Apa aku tak salah lihat? Atau ini
efek dari benturan di kepalaku? … Adu-uh.. SAKIT
Ternyata aku pingsan lagi. Dan sekarang aku sudah berada di ruang inap.
Kulihat ayah dan ibuku sudah berada di sampingku. Mereka kelihatan
menangis. Apa mereka menangisiku? Apakah sekarang mereka
mengkhawatirkanku?
“Mah… Pah…” ucapku lemah.
“Luna….” Mamah masih menangis. Matanya kelihatan bengkak.
“Adikmu, Lun… Adikmu sedang kritis.” Ucapnya lagi.
Hah… Jadi mamah dan papah bukan menangisiku?! Tapi menangisi Leny!
“Kalian kenapa, sih?! Kenapa selalu Leny yang diperhatikan?! Kalian
tidak pernah mengkhawatirkanku. Apa aku bukan anak kalian?” Bentakku
sudah tidak dapat lagi menahan emosi yang supersulit itu.
“Astaghfirullah, Lun! Tidak seharusnya kau meremehkan adikmu! Dia patut
dikasihani. Apalagi KAU! Kau seharusnya menyayanginya. Karena dia
saudara kembarmu!” ujar mamah keras.
Aku langsung terkejut. Leny saudara kembarku?? Gak mungkin! Secara,
badanku lebih tinggi dan besar darinya. Selain itu, pikirannya masih
kayak anak TK. Padahal aku sudah SMP.
“Ketika kalian lahir, ternyata kalian kembar siam. Dan anggota tubuh
kalian bersatu. Mau-tak mua, kalian harus dioperasi untuk memisahkannya.
Ketika dioperasi, detak jantungmu melemah. Operasi pun dipercepat.
Gara-gara operasi itu, dokter memutuskan untuk memberikan tangan kiri
kalian yang cuma satu itu kepadamu. Leny pun harus rela jadi cacat.
Setelah kalian berumur 3 tahun, kami baru menyadari kalau pertumbuan
Leny lebih lambat dari kamu. Dan ternyata, Leny mengalami pertumbuhan
lambat itu Karena efek dari operasi itu.” Jelas papah tersedu-sedu.
“Leny rela tak mempunyai tangan hanya untuk menyelamatkanmu. Agar kamu
selamat dari operasi itu. dan akibatnya, pertumbuhannya jadi lambat!
Seharusnya, kamu berterima kasih dan menyayanginya.
Air mataku menetes. Hatiku terasa teriris-iris. Aku sangat menyesal. Ya
Tuhan! Ternyata Leny saudara kembarku. Leny, maafkan aku! Mengapa selama
ini, aku tak merasakan ikatan batin seperti yang dirasakan saudara
kembar lainnya. Apakah hatiku ini terlalu keras? Aku harus menebus
kesalahanku pada Leny. Aku segera pergi menuju ruang inap Leny.
Setibanya di sana, apa yang kulihat? Detak jantung Leny semakin melemah.
Kata dokter, Leny harus segera mendapatkan donor ginjal. Tanpa menunggu
lama, aku segera bersedia menjadi pendonor. Aku ingin menebus
kesalahanku pada Leny, sebelum tak ada waktu untukku menebusnya.
Akhirnya, operasi pun dilakukan.
DEG….. DEG…. DEG…..
Tiba-tiba, aku sudah berada di sebuah tempat yang sangat terang. Hanya ada aku dan….Leny? Hah.. dimana kami?
“Kakak.. terima kasih, Ka!” ujar Leny tersenyum.
“Kamu… Leny?” Aku seolah tak percaya dengan semua ini.
“Iya, Ka. Aku Leny. Saudara kembar kakak.” Sahutnya.
“Di mana kita?”
“Kita berada di alam yang berbeda dengan mamah dan papah. Kak, terima kasih kakak telah mau menemaniku di sini.” Ucapnya.
“Apa?!! Maksudmu kita sudah meninggal?!” tanyaku gemetaran.
“Iya, Kak”
Aku diam tanpa kata. Hanya hatiku yang berkata. Akhirnya aku bisa
menebus kesalahanku dengan menemaninya di sini. Yang tersisa hanyalah
airmata Mamah dan Papah di alam sana.
Kami lahir bersama. Bahkan, kami pergi dari dunia ini pun bersama.
PROFIL PENULIS
Hay.. Salam Kenal..
Namaku Awaliya Nur Ramadhana.
Kalau mau Tahu aku kunjungi
http://ramadhan-liya.blogspot.com
thanks to
Labels: Sad Story