Sebaris Nyanyian dari Ibu
WRITTEN BY kucumcucum
♥Thursday, December 20, 2012 [
0 comments ]
Ibuku malang ibuku tersayang…
Tatap matamu Satu,
seakan kasih sebening kaca.
Masa-masa duka,
Kau bangkitkan gaya jua
Dalam mengarungI gelombang samudra hidup ini.
Nasib tiada pernah kau ratapi
Kau terima dengan tabah
Kehidupan ini kau anggap bagai menggarap sawah
Dengan keringat sendiri kau tanamkan rasa harga diri.
Nyanyian itu tak akan pernah terlupakan olehku. Nyanyian yang
mengingatkan aku akan ibu yang telah melahirkan aku dan membesarkanku
hingga aku menjadi seperti ini. Aku sangat bersyukur karena aku
mempunyai seorang ibu yang berhati mulia, yang setiap malam selalu
mengantar aku tidur sambil menyanyikan lagu itu, menasehati aku,
memberikan aku pujian dan membuat aku bangga padanya karena ketabahan
hatinya. Meskipun sering kali aku membuatnya kecewa tapi ibu tak pernah
sedikitpun membesarkanya. Dia tahu bagaimana yang seharusnya dia lakukan
untuk memberiku semangat ketika aku merasa terpuruk, patah hati dan
hilang kendali. Ibu adalah teman yang selalu mengisi hariku dan tempat
berlabuh dimana semua kekesalan ku terobati. Ibu, aku rindu
padamu...kapan kau akan menyanyikan lagu itu lagi? Kapan kau akan
menjaga aku ketika aku tengah sekarat, dikala tak mampu untuk menyuap
makanan. Kaulah penolongku ibu. Aku rindu semua itu. Biar sedewasa
apupun diriku, jika berada di dekapmu aku merasa diriku seperti sepuluh
tahun yang lalu. Merengek, manja dan selalu ceroboh.
Akhir-akhir ini, Aku tahu kau merasa terkekang dengan sikap ayah,
merasa dihianati, merasa tak dihargai. Aku tahu kau sangat prustasi.
Sering kali dalam keluarga kita terjadi percecokan dan semua kesalahan
selalu dilimpahkan padamu. Kau menerimanya dengan lapang meskipun kau
tahu sendiri kalau itu bukan kesalahmu. Ayah tak tahu apa-apa tentang
kasih sayang yang kau berikan kepada kami. Dia hanya bisa menuntut dan
menuntut agar kita menuruti semua kemauannya dan jika tidak, kitalah
yang dianggap tak tahu berterima kasih atas nafkahnya. Kau tak pernah
menyadarinya ibu, sehabis kau dan ayah bertengkar, aku tak pernah absen
mengintipmu yang sedang menangis termangut-mangut dan kau sesekali
menyalahkan dirimu sendiri. Ketika aku mulai terhanyut oleh tangisanmu,
tanpa aku menyadari air mataku ikut menetes. Setitik, dua titik hingga
mataku sembab.
Tak berakhir di situ. Semua orang mengejekmu, menghinamu karena kau
dianggap tak berhasil dalam mengurus keluarga, karena kau disebut-sebut
sebagai wanita jalang dan materialistis. Padahal mereka tidak tahu
apa-apa. Mereka hanya pandai membuat masalah baru tanpa mengintropeksi
diri mereka terlebih dahulu. Aku jadi geram mendengar kata-kata mereka.
Kalau saja mereka bukan keluarga dekat kita, ingin rasanya aku
menghantam dan menjahit mulut mereka agar berhenti membuat gosip yang
tak sedap mengenaimu. Bukanya aku tak berani membelamu, hanya saja
mereka terlalu tua, dan bukankah ibu pernah menasehatiku, ”kalau ada
orang yang berbuat nggak baik terhadap kita, kita harus diamkan karena
karma masih berlaku di muka bumi ini Ka.” dan aku sangat, sangat
menghargai nasehatmu itu.
Itu bukan sekali, dua kali kau mendapat perlakuan tidak baik dari
mereka. Mereka memang nggak punya perasaan Bu, dan yang terakhir kau di
fitnah berselingkuh hingga terjadi percecokan yang paling hebat dari
yang sebelumnya. Sebegitu tak tahannya dirimu atas ketidakadilan
tersebut, kau terpaksa pergi meninggalkan aku dan Deddy. Kau pergi tepat
pada saat aku terjaga oleh mimpi meskipun tanpa nyanyian itu. Kau pergi
pada tanggal 17 januari 2010, pukul empat ketika fajar belum tampak
dari wajah bumi. Kau pergi dengan membawa luka serta kesedihanmu.
Padahal tujuh hari sebelumnya, kita baru saja melangsungkan pesta ulang
tahunmu yang ke-38.
Aku bingung mencarimu ibu. Aku mencoba untuk menghubungi kerabat dekat,
kerabat jauh bahkan temanmu. Bertanya dimana kini kau berada, tapi
mereka sama sekali tak mengetahuinya dan balik menanyaiku. Aku menangis
ibu, dan kau tak tahu seberapa besar kekawatiranku dan Deddy yang begitu
panik mencarimu kemana-mana. Seakan-akan kami berdua baru saja
kehilangan jiwa kami, aku merasa tubuhku kosong, nafasku terasa berat.
Berhari-hari aku mengingat dan memikirkan keadaanmu. Aku takut kalau
sakit yang kau derita kambuh lagi karena kau tak akan mampu melangkah
jika sakit itu kambuh. Aku takut jika aku tak bisa menemuimu lagi dan
mendengarkanmu menyanyikan lagu itu untukku.
Bu saat itu tak ada lagi sandaran buat aku untuk bercerita. Tak ada lagi
orang yang bisa aku percaya. Ayah terlalu sibuk dengan masa dudanya,
adik juga, mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Akulah kini
yang bertanggung jawab, mengerjakan segala sesuatu di rumah. Ibu,
sekarang aku tak bisa menikmati masa remajaku, itu semua karena
tanggung jawabku yang tak bisa aku tinggalkan. Kerap kali aku jadi stres
karena aku harus membagi waktuku antara kuliah dengan kerjaan. Aku juga
tak pernah dihargai oleh mereka. Aku selalu saja dianggap tak bisa
membuat mereka bangga, padahal mereka tahu sendiri bagaimana letihnya
aku karena memikul beban ini sendirian.
Ibu andai saja ada dua pilihan, satu-satunya yang kupilih adalah ikut
bersamamu, andai saja wanita Bali bebas memilih adat, aku yang pertama
kali yang akan ikut adatmu, asalkan aku tetap berada di dekatmu,
mendengarkan nyanyianmu, itu sudah membuatku merasa nyaman.
Sekali lagi aku ingin mendengarkan nyangiann itu ibu. Jika kita
dipertemukan kembali, aku ingin kau nyanyikan lagu itu lagi untukku
seperti sepuluh tahun yang lalu di saat aku masih merengek-rengek dan
selalu minta kau rangkul.
Mitzutori
(bhs indo smt 5 B)MHSRWT. C. II
Labels: Sad Story
Sebaris Nyanyian dari Ibu
WRITTEN BY kucumcucum Thursday, December 20, 2012 [
0 comments ]
Ibuku malang ibuku tersayang…
Tatap matamu Satu,
seakan kasih sebening kaca.
Masa-masa duka,
Kau bangkitkan gaya jua
Dalam mengarungI gelombang samudra hidup ini.
Nasib tiada pernah kau ratapi
Kau terima dengan tabah
Kehidupan ini kau anggap bagai menggarap sawah
Dengan keringat sendiri kau tanamkan rasa harga diri.
Nyanyian itu tak akan pernah terlupakan olehku. Nyanyian yang
mengingatkan aku akan ibu yang telah melahirkan aku dan membesarkanku
hingga aku menjadi seperti ini. Aku sangat bersyukur karena aku
mempunyai seorang ibu yang berhati mulia, yang setiap malam selalu
mengantar aku tidur sambil menyanyikan lagu itu, menasehati aku,
memberikan aku pujian dan membuat aku bangga padanya karena ketabahan
hatinya. Meskipun sering kali aku membuatnya kecewa tapi ibu tak pernah
sedikitpun membesarkanya. Dia tahu bagaimana yang seharusnya dia lakukan
untuk memberiku semangat ketika aku merasa terpuruk, patah hati dan
hilang kendali. Ibu adalah teman yang selalu mengisi hariku dan tempat
berlabuh dimana semua kekesalan ku terobati. Ibu, aku rindu
padamu...kapan kau akan menyanyikan lagu itu lagi? Kapan kau akan
menjaga aku ketika aku tengah sekarat, dikala tak mampu untuk menyuap
makanan. Kaulah penolongku ibu. Aku rindu semua itu. Biar sedewasa
apupun diriku, jika berada di dekapmu aku merasa diriku seperti sepuluh
tahun yang lalu. Merengek, manja dan selalu ceroboh.
Akhir-akhir ini, Aku tahu kau merasa terkekang dengan sikap ayah,
merasa dihianati, merasa tak dihargai. Aku tahu kau sangat prustasi.
Sering kali dalam keluarga kita terjadi percecokan dan semua kesalahan
selalu dilimpahkan padamu. Kau menerimanya dengan lapang meskipun kau
tahu sendiri kalau itu bukan kesalahmu. Ayah tak tahu apa-apa tentang
kasih sayang yang kau berikan kepada kami. Dia hanya bisa menuntut dan
menuntut agar kita menuruti semua kemauannya dan jika tidak, kitalah
yang dianggap tak tahu berterima kasih atas nafkahnya. Kau tak pernah
menyadarinya ibu, sehabis kau dan ayah bertengkar, aku tak pernah absen
mengintipmu yang sedang menangis termangut-mangut dan kau sesekali
menyalahkan dirimu sendiri. Ketika aku mulai terhanyut oleh tangisanmu,
tanpa aku menyadari air mataku ikut menetes. Setitik, dua titik hingga
mataku sembab.
Tak berakhir di situ. Semua orang mengejekmu, menghinamu karena kau
dianggap tak berhasil dalam mengurus keluarga, karena kau disebut-sebut
sebagai wanita jalang dan materialistis. Padahal mereka tidak tahu
apa-apa. Mereka hanya pandai membuat masalah baru tanpa mengintropeksi
diri mereka terlebih dahulu. Aku jadi geram mendengar kata-kata mereka.
Kalau saja mereka bukan keluarga dekat kita, ingin rasanya aku
menghantam dan menjahit mulut mereka agar berhenti membuat gosip yang
tak sedap mengenaimu. Bukanya aku tak berani membelamu, hanya saja
mereka terlalu tua, dan bukankah ibu pernah menasehatiku, ”kalau ada
orang yang berbuat nggak baik terhadap kita, kita harus diamkan karena
karma masih berlaku di muka bumi ini Ka.” dan aku sangat, sangat
menghargai nasehatmu itu.
Itu bukan sekali, dua kali kau mendapat perlakuan tidak baik dari
mereka. Mereka memang nggak punya perasaan Bu, dan yang terakhir kau di
fitnah berselingkuh hingga terjadi percecokan yang paling hebat dari
yang sebelumnya. Sebegitu tak tahannya dirimu atas ketidakadilan
tersebut, kau terpaksa pergi meninggalkan aku dan Deddy. Kau pergi tepat
pada saat aku terjaga oleh mimpi meskipun tanpa nyanyian itu. Kau pergi
pada tanggal 17 januari 2010, pukul empat ketika fajar belum tampak
dari wajah bumi. Kau pergi dengan membawa luka serta kesedihanmu.
Padahal tujuh hari sebelumnya, kita baru saja melangsungkan pesta ulang
tahunmu yang ke-38.
Aku bingung mencarimu ibu. Aku mencoba untuk menghubungi kerabat dekat,
kerabat jauh bahkan temanmu. Bertanya dimana kini kau berada, tapi
mereka sama sekali tak mengetahuinya dan balik menanyaiku. Aku menangis
ibu, dan kau tak tahu seberapa besar kekawatiranku dan Deddy yang begitu
panik mencarimu kemana-mana. Seakan-akan kami berdua baru saja
kehilangan jiwa kami, aku merasa tubuhku kosong, nafasku terasa berat.
Berhari-hari aku mengingat dan memikirkan keadaanmu. Aku takut kalau
sakit yang kau derita kambuh lagi karena kau tak akan mampu melangkah
jika sakit itu kambuh. Aku takut jika aku tak bisa menemuimu lagi dan
mendengarkanmu menyanyikan lagu itu untukku.
Bu saat itu tak ada lagi sandaran buat aku untuk bercerita. Tak ada lagi
orang yang bisa aku percaya. Ayah terlalu sibuk dengan masa dudanya,
adik juga, mereka hanya sibuk dengan diri mereka sendiri. Akulah kini
yang bertanggung jawab, mengerjakan segala sesuatu di rumah. Ibu,
sekarang aku tak bisa menikmati masa remajaku, itu semua karena
tanggung jawabku yang tak bisa aku tinggalkan. Kerap kali aku jadi stres
karena aku harus membagi waktuku antara kuliah dengan kerjaan. Aku juga
tak pernah dihargai oleh mereka. Aku selalu saja dianggap tak bisa
membuat mereka bangga, padahal mereka tahu sendiri bagaimana letihnya
aku karena memikul beban ini sendirian.
Ibu andai saja ada dua pilihan, satu-satunya yang kupilih adalah ikut
bersamamu, andai saja wanita Bali bebas memilih adat, aku yang pertama
kali yang akan ikut adatmu, asalkan aku tetap berada di dekatmu,
mendengarkan nyanyianmu, itu sudah membuatku merasa nyaman.
Sekali lagi aku ingin mendengarkan nyangiann itu ibu. Jika kita
dipertemukan kembali, aku ingin kau nyanyikan lagu itu lagi untukku
seperti sepuluh tahun yang lalu di saat aku masih merengek-rengek dan
selalu minta kau rangkul.
Mitzutori
(bhs indo smt 5 B)MHSRWT. C. II
Labels: Sad Story
The Owner
Don't judge me until you truly know me
Biography
✿ Fullname: Kusumawardani Rizaldo Putri
✪ Can call me: Kusuma ♥ Kucum ♥ Ale
✿ Status : Single
✪ Hobbies : Eating, Sleeping, Drawing, Reading
✿ Date of Birth: 15th September 1998
✪ Place of Birth: Padang, Indonsia
✿ Currently state: Jakarta, Indonesia
✪ Religion : Islam. I'm proud to be muslim
MORE