Mimpi Terindah Sebelum Mati
WRITTEN BY kucumcucum
♥Friday, December 7, 2012 [
1 comments ]
Cerpen Maya Wulan
RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu
kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih
dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja
mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang
menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus
berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi
kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada
lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar
menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara
tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku,
sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya
sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.
Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya
saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa
dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata
rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa
yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua
tertiupkan ke alam ini.
NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan
renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang
sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum
tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring.
Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran
bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan
kini, aku bermimpi.
Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku
mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering.
Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu
yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak
melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah
tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?
Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah
harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi
lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di
kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan
kembali di sini."
Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku
mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.
Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi
ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas
mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan
marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak
makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku,
Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang
lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.
Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau
melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga
mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus
terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari
dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti
menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa
dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju
padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng
tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.
Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan
menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki
di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"
"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak,
kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."
"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci
angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"
Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening
mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak
ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang
sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang
menjelma nada indah tersendiri bagiku.
"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi
jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung
sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.
"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti
yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"
Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya
begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di
satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik
saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku
tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti
dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari
kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun
kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali
ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan
berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus
sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan
rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi,
maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum
matiku. Kataku dalam hati.
AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca.
Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan
jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi
kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau
takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.
Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku
bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat
sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani,
lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku
menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.
Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu
yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau,
Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama
kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku.
Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?
Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total
terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman
unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih
menarik daripada menghitung langit atau bintang.
Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari
tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat
membuatku tercekat.
Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya.
Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter
mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan
ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan
hanya terus menangis. ***
Sidoarjo-Yogyakarta, 2004-2005
Labels: Sad Story
Mimpi Terindah Sebelum Mati
WRITTEN BY kucumcucum Friday, December 7, 2012 [
1 comments ]
Cerpen Maya Wulan
RAMADHANI, sekalipun sedang sekarat, aku masih ingat dengan ucapanku pada suatu
kali. Di satuan waktu yang lain, berkali-kali kukatakan kelak aku akan lebih
dulu pergi darimu. "Mati muda," kataku datar. Dan kau selalu saja
mengunci mulutku dengan cara mencium bibirku. Memutus kata-kataku yang
menurutmu tidak pantas. Hanya saja pada satu waktu, sebelum akhirnya kita harus
berpisah untuk meluncur dihembuskan ke perut bumi, kau sempat menampar pipi
kiriku ketika lagi-lagi aku mengulang kalimat tentang kematian itu. Tidak ada
lagi ciuman seperti biasanya. Aku berpikir mungkin kau sudah tak bisa bersabar
menghadapiku. Atau kau terlalu takut? Padahal aku sudah begitu sering bicara
tentang daun yang bertuliskan namaku di ranting pohon itu. Bahwa dia, kataku,
sedang menguning dan beranjak kering untuk kemudian bersegera gugur. Usianya
sangat pendek, tidak akan sampai menyaingi usia kita di sana.
Tetapi kemudian kita bertemu lagi di tempat yang kita sebut kehidupan. Hanya
saja situasi yang ada sangat berbeda. Kita masih seusia, tetapi tidak bisa
dikatakan sebagai seorang yang dewasa. Bicara saja kita masih tidak tertata
rapi. Ke sana kemari, khas bahasa anak-anak. Semua sangat berbeda dengan apa
yang pernah kita lalui bersama di satuan waktu yang lampau. Sebelum kita berdua
tertiupkan ke alam ini.
NAFASKU terpatah-patah. Aku merasa sangat lelah. Seperti seorang perempuan
renta yang sedang menunggu masa tutup usia. Berjalan hanya dalam khayal yang
sesungguhnya kedua kaki tak pernah melangkah kemana pun. Tapi aku memang belum
tua. Meski juga tak bisa berlari-lari. Aku hanya terus berbaring dan berbaring.
Sejak kepergian ayahku ke surga. Mataku masih menampung sekian banyak buliran
bening yang belum mendapat giliran untuk tumpah. Aku terlanjur tertidur. Dan
kini, aku bermimpi.
Ayahku berdiri dalam nuansa yang begitu lembut namun terkesan asing bagiku. Aku
mencoba memanggilnya, tetapi suaraku tersumbat di tenggorokanku yang kering.
Sudah lama sekali aku tidak minum air lewat mulutku. Hanya selang infus itu
yang terus menembus tangan kananku selama ini. Ayahku begitu sunyi, seolah tak
melihat kehadiranku di sini. Barangkali debur rindu di dadaku yang membuncah
tak cukup keras untuk menjadi tanda keinginanku bertemu dengannya?
Aku melihat lagi gambaran ketika ayahku meninggalkanku dan ibuku. "Ayah
harus ke luar negeri," kata ibuku padaku suatu malam.
"Untuk apa?" tanyaku.
"Untuk bekerja," sahut ayahku. "Ayah janji tidak akan pergi
lama. Kau bisa menandai hari dengan terus mencoreti setiap penanggalan di
kalender meja kerja ayah. Setiap hari. Dan tanpa kau sadari, ayah sudah akan
kembali di sini."
Aku memasang wajah tak percaya, "Ayah janji?"
Ayahku mengangguk mantap. Ibuku tersenyum melihat tingkahku. Dan aku
mengantarkannya ke bandara dengan berat hati.
Selanjutnya, aku disibukkan dengan mencoreti kalender milik ayahku. Tetapi
ayahku pergi begitu lama. Sampai aku kelelahan menunggu dan mulai malas
mencoreti kalender seperti yang pernah diminta ayah. Aku mulai menangis dan
marah pada ibuku, juga semua orang. Tubuhku melemah karena aku selalu menolak
makanan bahkan minuman. Aku enggan bicara, termasuk pada teman sepermainanku,
Ramadhani. Sampai suatu hari ibuku mengatakan kalau ayahku tidak akan pulang
lagi. "Ayah sudah terbang ke surga," katanya.
Sejak itu aku sangat membenci angka-angka. Aku benci penanggalan dan tidak mau
melihat kalender terpajang di rumah. Aku benci menghitung sesuatu. Aku juga
mulai suka melukai diriku sendiri. Hingga akhirnya aku jatuh sakit dan harus
terbaring di rumah sakit yang bagiku baunya sangat tidak enak.
Bayangan ayahku dan nuansa lembut itu perlahan-lahan memudar. Aku mencari-cari
dan menajamkan pandanganku, tetapi percuma. Di hadapanku, suasana berganti
menjadi demikian putih dan rapat oleh kabut tebal yang mengeluarkan hawa
dingin. Satu sosok laki-laki dewasa tampak berjalan menembus kabut menuju
padaku. Tubuhnya jauh lebih tinggi dariku. Dia tersenyum dan menggandeng
tanganku. Kulit tangannya terasa begitu halus di telapakku.
Sambil mengajakku untuk duduk, laki-laki itu bercerita tentang langit dan
menyebut-nyebut surga. Aku teringat pada ayahku dan bertanya kepada laki-laki
di sebelahku, "Apa ayahku ada di sana?"
"Benar," jawabnya.
"Di mana?"
"Di langit ke tujuh."
"Apa kita bisa ke sana?" tanyaku tak sabar.
"Kelak kita akan ke sana. Tapi, ada syaratnya."
"Apa syaratnya?" sahutku semangat.
"Kau terlebih dulu harus bisa menghitung jumlah langit itu. Kalau tidak,
kau tidak akan bisa sampai ke tempat ayahmu. Karena kau akan tersesat."
"Kalau begitu lupakan! Aku tidak mau menghitung. Aku benci
angka-angka!" aku berteriak.
"Di langit, kau juga bisa menghitung bintang-bintang."
"Aku tidak mau menghitung langit atau apa pun."
"Percayalah, kau akan menyukainya."
"Untuk apa aku menghitung bintang-bintang?"
"Mungkin di sana ayahmu juga sedang menghitung bintang-bintang."
"Benarkah?"
Laki-laki itu mengangguk. Aku memeluknya tanpa ragu-ragu. Suasana begitu hening
mengurung kami berdua. Aku menyandarkan kepalaku ke dada laki-laki itu. Tidak
ada suara apa pun di tempat ini, kecuali detak jantungku sendiri. Degup yang
sudah cukup lama ini terasa sangat lemah. Aku menikmati detak jantungku yang
menjelma nada indah tersendiri bagiku.
"Apa kita bisa menghitung suara ini?" kataku menunjuk bunyi
jantungku.
"Ya, tentu. Hitunglah. Akan sangat menyenangkan kalau kita menghitung
sesuatu yang kita sukai."
"Apa suara ini akan selalu berbunyi selamanya?"
"Tidak. Dia akan berhenti, kalau kau sudah mati."
"Mati? Pergi ke surga, seperti ayahku? Begitukah?"
"Ya."
"Kalau aku mati, apa aku bisa bertemu ayahku?"
"Tentu saja."
"Aku ingin sekali suara ini berhenti berbunyi," kataku pelan.
"Ibumu akan bersedih jika kau meninggalkannya," jawab laki-laki itu.
"Jangan beritahu ibuku kalau aku mati. Berjanjilah untuk diam. Seperti
yang dilakukan ibu padaku dulu, ketika ayah meninggalkan kami."
"Bagaimana dengan temanmu, Ramadhani?"
Aku terhenyak. Ramadhani? Ah, aku melupakannya. Apa aku tega meninggalkannya
begitu saja? Tapi…bukankah aku sudah mengatakan hal ini kepadanya dulu, di
satuan waktu yang lain? Tentu dia akan mengerti.
Aku baru saja akan mengatakan pada laki-laki itu bahwa Ramadhani akan baik-baik
saja jika harus kutinggalkan, tetapi dia telah lenyap dari pandanganku. Aku
tidak lagi berada dalam pelukannya. Suasana yang putih berkabut kini berganti
dengan taman yang sangat indah dan penuh bunga. Aroma wangi dari
kelopak-kelopak yang bermekaran memenuhi tempat yang belum pernah sekalipun
kutemui ini.
Saat itu, di kejauhan, aku kembali melihat sosok ayahku berdiri sendiri. Kali
ini dia menatap ke arahku dan tersenyum. Aku membalas senyumannya dengan
berjalan menujunya. Tetapi pandanganku mendadak mengabur. Aku berjalan terus
sampai semuanya semakin tak terlihat olehku. Aku menghentikan langkahku dengan
rasa kecewa.
Aku teringat pada teman kecilku. Ramadhani, kalau setelah ini aku harus pergi,
maka semua yang kulihat barusan akan menjadi satu mimpi terindah sebelum
matiku. Kataku dalam hati.
AKU lihat kau duduk di samping pembaringanku. Matamu teduh tetapi berkaca-kaca.
Ruangan rumah sakit ini lebih tampak seperti kamar mayat. Dingin, sepi, dan
jiwa-jiwa yang beku. Aku masih tertidur. Sesekali berteriak menyapamu, tetapi
kau tak mendengarku. Mimpi yang kulihat masih tersisa dengan kaburnya. Kau
takkan percaya, Ramadhani, aku bertemu ayahku dalam mimpiku.
Aku teringat dunia yang lain. Waktu kau, Ramadhani, menciumi bibirku ketika aku
bicara tentang mati. Tapi kini kau tampak sedikit berbeda. Wajahmu terlihat
sangat ketakutan seolah sedang menonton opera kematian. Dan, ah, Ramadhani,
lihat! Ayahku datang lagi. Mimpiku jelas kembali. Dengan cepat aku
menenggelamkan diri di gambaran mimpiku.
Di belakangku, ayahku merentangkan tangannya untukku. Dadaku penuh rasa rindu
yang tak tertawar lagi. Dan…di arah yang berlawanan, "Hei, itu kau,
Ramadhani. Kau juga di sini?" tanyaku. Tapi kau diam. Kaku. Tak lama
kemudian kau memanggil namaku dengan sangat pelan. Nyaris tak terdengar olehku.
Sebenarnya kau mau aku datang padamu atau tidak?
Aku tak bisa memilih. Antara ayahku dan kau, dalam mimpiku. Napasku sudah total
terengah-engah. Ini melelahkan, Ramadhani. Tetapi juga menyenangkan. Pengalaman
unik yang tak bisa sembarangan diceritakan. Aku yakin sekali ini jauh lebih
menarik daripada menghitung langit atau bintang.
Kemudian semua terpastikan. Seseorang di atas kepalaku, menarik sesuatu dari
tubuhku. Ada yang terlepas dengan begitu lekas. Sangat cepat, tetapi sempat
membuatku tercekat.
Aku lupa semua mimpiku. Tiba-tiba ayahku sudah memelukku dengan eratnya.
Sementara kau menangis di pelukan ibuku, di ujung pembaringanku. Dokter
mencabut selang infusku. Aku berteriak untukmu, "Aku akan merindukan
ciumanmu, Ramadhani." Tapi lagi-lagi kau tak dapat mendengarku, melainkan
hanya terus menangis. ***
Sidoarjo-Yogyakarta, 2004-2005
Labels: Sad Story